Tukang Parkir Liar: Jasa atau Pungli yang Dinormalisasi?

Kamis, 22 Mei 2025 17:18 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Warga berjalan di atara sepeda motor yang terparkir di kawasan Kembangan, Jakarta, Kamis 16 Mei 2024. Pemprov DKI Jakarta meminta Dishub DKI Jakarta untuk menertibkan parkir liar di seluruh wilayah Jakarta dengan mengedepankan prosedur penertiban secara m
Iklan

Tukang parkir liar kerap tak memberi jasa nyata, tapi tetap menagih. Apakah ini bentuk pungli yang sudah dinormalisasi masyarakat?

***

Fenomena tukang parkir liar di sudut-sudut kota kian terasa seperti pemalakan yang sudah dinormalisasi. Mereka sering muncul tiba-tiba bagaikan jelangkung.  Saat kita memarkir kendaraan tidak ada, tetapi saat standar motor dinaikkan mereka datang bagaikan kilat. Mendadak saja mereka sudah ada di dekat motor dengan pluit andalan. Tangannya mengadah dengan tatapan “mana bayarannya?”.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Parahnya lagi ada yang sudah diberi uang, terus langsung meninggalkan kita duduk kembali ke tempat mangkalnya. Ia tidak membantu kendaraan keluar parkir atau keluar ke jalanan. Tetapi giliran kita tidak memberikan uang, mereka menyalahkan kita, bahkam memarahi.

Beberapa dari mereka bersikap seakan itu adalah haknya. Bahkan di tempat yang secara jelas tertulis “Parkir Gratis” mereka tetap mangkal dan memungut bayaran, seakan aturan tersebut tidaklah berlaku bagi mereka.

Mirisnya fenomena ini seringkali dibungkus dengan narasi “menambah lapangan kerja”. Padahal realitanya tidak ada kontribusi nyata yang diberikan. Sebagian tukang parkir malahan tidak melakuan apa-apa seperti tidak membantu mengatur kendaraan, tidak memberikan arahan, cuman duduk-duduk santai, dan memunggu kesempatan menagih bayaran parkir yang tempatnya sendiri bukan milik mereka.

Bahkan jika ada kehilangan terkadang mereka lepas tanggung jawab. Ini bukanlah pekerjaan melainkan pembiaran terhadap kemalasan yang dibayar dengan paksa. Ironisnya lagi, praktik ini semakin diterima masyarakat. Bahkan sekrang sampai ada tukang parkir ibu-ibu atau mba-mba yang ikut serta menekuni “profesi”ini. hal ini menandakan betapa dalamnya budaya ini sudah mengakar luas.

Pada dasarnya, nominal uang bukanlah permasalahannya. Uang yang diberikan memang tidaklah seberapa. Tetapi rasa tidak ikhlas yang muncul karena uang tersebut diberikan untuk sesuatu yang tidak memberi manfaat nyata. Hal ini diperburuk dengan budaya “tidak enakan” di kalangan masyarakat luas di Indonesia yang takut akan perspektif dinilai pelit, takut dicecar, atau sekedar merasa tidak enak hati menolak memberi. Ujung-ujungnya, kita memberi bukan karena rel, akan tetapi akibat tekanan sosial yang ada.

Tidak hanya itu, kehadiran pungli parkir ini juga berdampak negatif bagi pelaku usaha di sekitar lokasi. Sebagian konsumen yang tahu bahwa mereka harus membayar parkir yang tidak resmi atau terasa dipungut paksa menimbulkan rasa malas mampir ke toko atau tempat jualan di sana. Hal tersebut dapat berisiko penurunan bisnis di sekitarnya karena orang memilih untuk tidak berbelanja demi menghibdari “biaya tambahan” yang tidak diingankan itu.

Aku pribadi lebih menghargai tukang parkir yang benar-benar menjalankan tugasnya dengan membantu memarkirkan kendaraan, mengarahkan ke jalan keluar, atau menjaga kendaraan agar aman. Itu pantas diberi apresiasi. Tapi untuk yang hanya muncul untuk menagih tanpa melakukan apa pun? Rasanya ini bukan lagi jasa, tapi pungli yang dibungkus budaya. Dan diam-diam, ini adalah bentuk premanisme yang sudah lama kita biarkan.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Shabrina Ghossani

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler